Wacana Pemikiran Islam Oleh : Prof. Dr. H. M. Ridwan Lubis

Blog Single
Pada waktu Rasulullah masih hidup maka beliau menjadi tempat bertanya bagi para sahabat. Terkadang pertanyaan itu dijawab melalui turunnya wahyu yaitu Al Qur’an dan terkadang beluau sendiri yang memberikan jawaban (Hadis). Baik Al Aqur’an maupun Hadis adalah semuanya berasal dari Allah.[1]  Oleh karena baik Al Quran maupun Hadis mempunyai funsgi yang sama yaitu sumber hukum (tasyri’). Wahyu disebut sebagai sumber utama penetapan hukum (mashadir al tasyri’) sedang fungsi akal sebagai pengembangan dari pemahaman terhadap sumber utama itu disebut dengan penggalian pemikiran yang disebut ijtihad yaitu merupakan latihan berpikir (intellectual exercise) yang melahirkan berbagai metode yaitu ijma’, qiyas, istishhab, mashalih mursalah.Hal inilah kemudian yang menjadi alasan lahirnya berbagai aliran pemikiran yang disebut mazhab. Keberadaan mazhab terdapat dalam ilmu kalam, fikh maupun akhlak. Semua aliran pemikiran tersebut masih tetap berada dalam lingkaran Islam sepanjang didasarkan kepada Al Qur’an dan Hadis. Wacana pemikiran dalam mazhab pada asalnya terbagi ke dalam dua kecenderunga yaitu menekankan kepada teks ayat maupun hadis dan kebebasan akal pikiran. Wacana yang menekankan kepada teks didasarkan kepada pertimbangan bahwa kebenaran yang terjamin keabsahannya adalah sebagaimana terkandung dalam Al Qur’an dan Hadis. Sebaliknya kelompok kedua lebih menekankan pada efektifitas implementasi wahyu sesuai dengan tuntutan perkembangan lingkungan. Apabila pertama lebuigh mengedepankan dalil naqli maka yang kedua menekankan dalil ‘aqli. Dengan demikian wacana pemikiran Islam tersusun secara sistematis, runtut yang dimulai dari Al Quran, Hadis, Qaul Sahabat, Tabi’in, Tabi’ Al Tabiin, imam mazhab, ulama sampai kepada kita sekarang. Pemahaman terhadap Al Qur’an sangat sulit dilakukan oleh generasi sekarang ini mengingat orang yang mampu menangkap serta merasakan ruh syari’at adalah orang-orang sezaman dan generasi langsung dibawahnya. Model pemikiran yang demikian disebut kesaksian aliran mata air syari’at (syuhud ’ain al syari’at). Persoalan inti dalam ajaran Islam adalah akidah karena ia menjadi dasar terbentuknya pandangan dunia (world view) seorang muslim dalam seluruh rangkaian kehidupannya. Kepercayaan lama lebih menekankan pemikiran ketuhanan yang berangkat dari dimensi ilahiah. Dimensi ini menekankan bahwa manusia adalah laksana wayang yang hanya dapat bergerak apabila digerakkan oleh dalang. Demikianlah manusia sekalipun kelihatan ia berkegiatan akan tetapi hal itu tidak lebih dari penampakan metaforis (majazi) sedang yang bergerak itu sesungguhnya adalah Allah. Terkait dengan nasib manusia telah ditentukan oleh Allah jauh sebelum manusia lahir ke dunia. Faham tersebut dikenal dengan determinisme. Akibatnya manusia hanya tinggal berserah diri tanpa berusaha sedikitpun melakukan kreasi karena hal itu dianggap bertentangan dengan keyakinan ketuhanan. Dasarnya Firman Allah: Dan Allah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu kerjakan.[2] Dalam sejarah pemikiran Islam, aliran determinisme ini disebut dengan jabariyah. Kerangka berpikir Jabariyah berasal dari tradisi masyarakat badawi dengan kultur agraris dan kehidupannya semua tergantung kepada keramahan alam. Sebaliknya, muncul aliran lain sebagai antitesa terhadap Jabariah yaitu aliran indeterminisme yang disebut Qadariyah. Mereka berpandangan bahwa ilmu Allah hanya terbatas kepada yang general (kulli) sedang pecahan dari kulli yaitu juz-i sepenuhnya diserahkan Allah kepada makhlukNya. Dan pada saat yang demikian kesan tentang Tuhan diilustrasikan berada pada posisi yang pasif. Nasib dan ketentuan perolehan ditentukan oleh manusia itu sendiri. Argumen yang digunakan adalah bukanlah Allah akan meminta pertanggungjawaban terhadap manusia di alam akhirat dan selanjutnya manusia akan terbagi kepada syurga dan neraka. Tidak mungkin Allah meminta pertanggungjawaban apabila manusia itu tidak memperbuat perbuatannya tetapi hanya sebagai pelaku metaforis. Oleh karena itu manusialah yang sesungguhnya berbuat dan mempertanggungjawabakan perbuatannya. Dalilnya diambil dari Firman Allah: Dan manusia hanya akan memperoleh apa yang telah diusahakannya.[3] Alasan lain adalah Firman Allah pada Surat Al Ra’d.[4] Ayat-ayat tersebut menegaskan bahwa potensi kehendak (masyi-ah) dan kemampuan (istita’ah) ada;ah bersifat efektif bukan metaforis. Kerangka berpikir kedua ini berada pada pemahaman ketuhanan berdimensi insaniah. Dalam sejarah pemikiran Islam kedua aliran ini menarik perhatian umat Islam sehingga umat terbagi pada dua tarikan pemikiran antara yang menekankan dimensi ilahiah dan karena itu itu umat mengalami kemunduran dan dimensi yang kedua, umat mengalami kemajuan peradaban akan tetapi mereka berada di jurang paham ateistik. Bagian kedua dari perkembangan pemikiran Islam adalah ibadah yang diperoleh melalui tuntutan syari’at. Syari’at adalah ketetapan dari yang berasal dari wahyu. Oleh karena itu, kebenarannya bersifat absolut. Sementara elaborasi terhadap wahyu disebut fikh. Sebagai produk manusia, maka fikh boleh mengalami perubahan dan harus berubah sesuai dengan tuntutan kondisi ruang dan waktu (muqtada al hal). Fikh tidak boleh statis akan tetapi hartus dinamis, kreatif dan inovatif agar tetap terpelihara kehadiran Islam (al islam shalihun li kulli zaman wa makan). Dalam kaitan itulah terdapat perbedaan antara akidah dan syariat dibanding dengan fikh. Akidah dan syari’at hanya bisa dilakukan pemurnian dan tidak bisa dilakukan pembaruan. Pemurnian adalah mengembalikan akidah dan syariat sebagaimana aslinya. Sedang pembaruan adalah memperbarui interpretasi, penghayatan dan pengamalan ajaran Islam selalu sejalan dengan prinsip akidah dan ibadah. Hasil interpretasi, penghayatan dan pengamalan ajaran Islam terkait dengan pranata sosial (mu’amalat) adalah merupakan kemestian sejarah karena dengan demikian akan tetap terpelihara aktualisasi ajaran Islam melintasi setiap ruang dan waktu. Tegasnya pembaruan hanya berkenaan dengan pranata sosial sedang pemurnian adalah akidah dan ibadah. Ibadah dilihat dari motivasinya terbagi kepada dua yaitu ibadah mahdah yaitu dipandang sebagai ibadah dilihat kepada tatacara pelaksanaannya. Kemudian ibadah ghairu mahdlah yaitu sesuatu perbuatan seorang hamba dapat dikelompokkan sebagai ibadah dengan melihat kepada niatnya. Apabila ibadah mahdlah adalah sebagai ibadah tertentu (khassah) maka ibadah ghairu mahdah adalah ibadat yang bersifat umum (’ammah) yaitu seluruh aktivitas umat manusia. Syariat yang dibawa Nabi Muhammad SAW memiliki lima tujuan yaitu: hifz al din, hifz al al nafs, hifz al ’aql, hifz al nasl dan hifz al maal. Dalam penetapan hukum terhadap sesuatu kejadian maka situasi yang mengitarinya terbagi tiga: daruriyat, hajiyat dan tahsiniyat. Daruriyat adalah situasi memaksa yang mengancam kelangsungan jiwa manusia. Sesuai dengan prinsip syari’at adalah untuk memelihara diri (hifz al nafs) maka kepentingan makhluk didahulukan dari kepentingan Khaliq. Atas dasar itu, maka manusia memperoleh keringanan (rukhsah) dari hukum asal. Akan tetapi begitu sutuasi kedaruratan selesai maka situasi makhlk kembali menjadi hajiyat maka penetapan hukum terhadap perbuatan kembali kepada situasi yang biasa yaitu hilangnya rukhsah. Dengan demikian, rukhsah bukanlah perubahan hukum akan tetapi perubahan implementasi hukum oleh karena adanya faktor penyebab yang disebut ’illat. maka disususn kaedah fiqh yang berbunyi al hukm taduru ma’a al ’illat wujudan wa ’adaman. Aspek ketiga dari situasi hukum yang dihadapi oleh manusia adalah keinginan untuk melakukan rekonstruksi maupun rekayasa terhadap ciptaan Allah yang disebut tahsiniyat. Hukum asal dari tahsiniyat adalah boleh (mubah) akan tetapi bisa menjadi haram apabila cenderung membawa kepada perbuatan makruh dan haram dan bisa wajib apabila kegiatan tersebut bertujuan untuk mengembangkan syiar ajaran Islam tan pa bersifat mubazir dan riya. Dalam rangka aktualisasi terhadap berbagai perubahan sosial maka terbuka peluang untuk melakukan pembaruan pemikiran Islamnya bersifat permanen dan abadi namun implementasinya selalu bersifat fleksibel. Hal ini disebabkan karena ajaran Islam memiliki tiga karakter yang berbeda dari agama-agama lainnya. Ketiga karakter itu adalah (1) tidak ada agama selain Islam yang sangat menekankan persamaan derajat (2) Islam itu rasional dan simplicity hal ini menunjukkan bahwa semangat keislaman sangat dekat dengan rasionalitas dan karena itu, pemahaman terhadap Islam dapat mengembang dan menyempit sesuai dengan subyek dan obyeknya (3) Islam adalah kemajuan hal ini berarti bahwa semua ajaran Islam mendorong umatnya untuk maju. Perkembangan Islam di berbagai kawasan mengalami nuansa yang berbeda sesuai dengan latar budaya yang mengitarinya. Dalam kaitan itulah wacana pemikiran Islam berada dalam kerangka pemikiran yang disatu sisi sifatnya permanen dan pada sisi yang lain berdimensi pembaruan. Hal inilah yang mengantarkan lahirnya peradaban Islam.
Share this Post1: